ASAL USUL DESA MERSAM


ASAL USUL NAMA DESA MERSAM

Pada zaman dahulu kala, di dusun hulu sungai, hiduplah tiga orang saudara yang kesemuanya laki-laki, ketiganya hidup rukun dan saling membantu satu sama lain. Sudah menjadi adat dan kebiasaan di dusun mereka bahwa apabila mereka akan melangsungkan pernikahan, mereka harus memiliki sebidang tanah perkebunan yang disebut “Talang” sebagai bekal mereka berumah tangga. Talang tersebut nantinya akan mereka tanami tumbuh-tumbuhan yang akan menopang kehidupan mereka kelak.

Pada suatu hari ketiga saudara tersebut berencana akan mencari hutan yang akan mereka buka untuk dijadikan talang, tetapi didusun mereka hutan yang ada sudah semakin sedikit dan nyaris sudah dibuka seluruhnya oleh penduduk setempat menjadi talang. Saudara tertua berkata kepada adiknya “ Adikku beduo, didusun kito ko, dedo lagi rimbo nang dapat kito bukak menjadi talang, macam mano kalu kitu mencari rimbo gano yang lain, untuk kito bukak menjadi talang ?“ adik yang kedua berkata “ kami tu macam mano nang elok lah menurut abang “. Kalu macam tu, isuk pagi kito basiaplah beban, kito cubo nyusur sungai batang hari ko kilir, dimano ado rimbo tepi aek nang cocok, disitulah kito bukak talang, macam mano nurut kamu baduo ?”. kata kakak yang tertua. Kata adik yang paling bungsu     “ kami nang budak ko, nurut baelah kato abang tu”. “Kalu macam tu, iolah..., isuk pagi kito berakit ngilir sungai, malam ko siaplah beban untuk berangkat isuk pagi” kata kakak yang paling tua.

Keesokan harinya, berangkatlah ketiga bersaudara tersebut dengan menaiki rakit lengkap dengan perlengkapan dan bekal untuk membuka hutan, setelah beberapa hari berakit ke hilir sungai batang hari, sampailah meraka kesuatu tepian yang berseberangan dengan muara sungai kecil, sungai tersebut banyak ditumbuhi oleh tanaman resam, yaitu tanaman merambat yang berbatas keras, mereka menganggap tempat tersebut cocok untuk dijadikan “talang” mereka yang baru.

Lalu naiklah mereka kedarat, ( sekarang tempat mereka naik kedarat adalah halaman Masjid Jami’ Mersam ) dan memulai persiapan untuk segera menebang pepohonan di hutan tersebut dengan menggunakan beliung dan kapak. Sebelum bekerja mereka memasak nasi dan lauk terlebih dahulu untuk persiapan makan sebelum bekerja dan untuk makan siang setelah bekerja nanti, setelah sarapan pagi, mereka mulai bersiap bekerja dan bersepakat untuk menebang pepohonan dengan arah penebangan yang saling bertolak belakang, bekal makanan untuk makan siang nanti ialah nasi seperiuk dan tiga butir telur rebus yang masih utuh didalam cangkangnya diletakkan di dalam sebuah “ kembut “, kembut adalah wadah yang terbuat dari ayaman daun rumbai yang diayam menyerupai bakul, bekal tersebut mereka letakkan dibawah sebatang tombak yang di tancapkan sebagai tanda, mereka bersepakat apabila istirahat siang nanti, mereka akan beristirahat di tempat tersebut.

Setelah beberapa lama masing-masing bekerja, tibalah saat mereka beristirahat dan berkumpul untuk makan siang pada tempat yang ditentukan, alangkah terkejutnya mereka, karena sesampainya mereka ke tempat tadi, pada ganggang tombak yang ditancapkan tersebut sudah bersarang “ Burung Cinto Kasih “ ( menurut pendapat dari beberapa orang tua-tua, burung cinto kasih adalah jenis burung yang selama hidupnya diberi makan oleh burung lain, dan memiliki sarang yang berwarna putih dan bertekstur seperti kapas ).

Setelah dibuka kembut tempat menyimpan telur tadi, ternyata tiga butir telur yang tadinya utuh kini hanya sebutir yang masih utuh, dua butir lainnya sudah pecah dan tidak utuh lagi, melihat kenyataan tersebut, berkatalah kakak yang tertua “Adik-adik abang berduo, kalu dilihat dari kejadian ko, abang mengambil pedoman nang penting, nampaknyo dedo elok kita berkumpul bertigo ditalang ko, tengoklah.... telur nang tadinya tigo-tigonyo elok, kini tinggal sekok nang masih elok kelosak ( cangkang ) nyo, kalu menurut abang dari pedoman telur ko....., eloklah kita jangan se undak, elok kito bapisah, sebab sedang lidah lagi tagigit apolagi singa sisik dalam kehidupan........, kan adik abang yang nomor duo, turutlah lagi sungai ko kilir, buka’ talang baru lagi, kan nang paling kecik, baliklah lagi mudik, baliklah kedusun kito lamo......., macam mano nurut kamu baduo....?”. berkatalah kedua adiknya tersebut “ kami tu...., mano nang elok di abang, elok pulak di kami....”.

Keesokan harinya, berpisahlah mereka sesuai kesepakatan, adik yang nomor dua terus berakit mengiliri sungai batang hari hingga samapai di daerah Kab. Sarolangun, dan adik yang paling bungsu kembali ke ulu sungai dan menetap di daerah kabupaten tebo, dan abang yang tertua menetap di talang yang baru mereka buka, untuk mengingat nama tempat abang mereka bermukim, mereka menamainya dengan nama Muaro Sungai Resam, karena talang tersebut berseberangan dengan muara sungai yang banyak di tumbuhi oleh tanaman resam, Akhirnya sedikit demi sedikit akibat dialek percakapan penduduk tersebut sedikit cepat, Maka kata-kata Muaro Sungai Resam tadi berubah menjadi Mersam, hingga saat ini Mersam sudah menjadi nama dari kecamatan di kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi.


2 Comments: